Jumat, 28 Oktober 2011

Kedudukan Akal dalam Memperoleh Ilmu Pengetahuan Menurut Harun Nasution


Akal menghasilkan ilmu, dan hal ini telah terbukti ilmu berkembang pada masa-masa keemasan sejarah Islam. Dalam ajaran agama yang diwahyukan adal dua jalan memperoleh pengetahuan, yaitu melalui akal dan wahyu (Nasution, 1986:1). Harun Nasution berusaha menjelaskan kedudukan akal dalam memperoleh pengetahuan, Harun Nasution dikenal sebagai seorang tokoh pembaharuan Islam di Indonesia pada tahun 70an. Dia adalah seorang intelektual muslim Indonesia yang memberikan perhatian terhadap akal dan wahyu, hal ini dibuktikan oleh beliau dengan bukunya yang berjudul “Akal dan Wahyu dalam Islam”. Sedemikian peting menurut Harun penggunaan akal karena agama atau wahyu yang dibawah oleh nabi pada hakekatnya hanya memberikan dasar-dasarnya saja dan tugas akal adalah menjelaskan apa yang disampaikan wahyu yang penggunaan akal dalam memahami agama disebut Ijtihad (Nasution. 1995:66), dan menurut Harun juga yang diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasikan pemahaman umat Islam yang dogmatis yang menyebabkan kemunduran umat Islam karena kurang mengoptimalkan potensi akal yang di miliki, Sebelum mengetahui kedudukan akal dalam memperoleh ilmu pengatahuan ada baiknya mengetahui apa yang  dimaksud dengan akal, kedudukan dan ilmu pengetahuan. Dan keduduka akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan.

Akal, kedudukan, dan ilmu pengetahuan menurut Harun Nasution
Menurut Harun Nasution kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh (عقلوه) dalam 1 ayat, Ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, Na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu dating dalam arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut:
* tbqãèyJôÜtGsùr& br& (#qãZÏB÷sムöNä3s9 ôs%ur tb%x. ×,ƒÌsù öNßg÷YÏiB tbqãèyJó¡o zN»n=Ÿ2 «!$# ¢OèO ¼çmtRqèùÌhptä .`ÏB Ï÷èt/ $tB çnqè=s)tã öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÐÎÈ  
Artinya “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah; 75)
Akal adalah anugerah yang diberikan oleh  Allah SWT yang mempunyai kemampuan untuk berpikir, memahami, merenungkan, dan memutuskan. Akal jugalah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. (Studi Islam, 1997:5) akal bersama wahyu mempunyai peranan yang penting dalm perjalan hidup manusia, wahyu diturunkan Allah kepada manusia yang berakal sebagai petunjuk untuk mengarui lika-liku kehidupan di dunia ini, akal tidak serta merta mampu memahami wahyu Allah, adalah panca indera manusia yang menyertainya untuk dapat memahami wahyu yang diturunkan Allah. Juga Harun Nasution dengan mengutip pendapat Abu Huzail mengenai akal yakni daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain diantara benda satu dan lainnya.
Makna Kedudukan berasal dari kata duduk adalah tempat yang diduduki sesuatu dalam pola tertentu. Jika kita berbicara tentang kedudukan akal dan wahyu dalam Islam, yang dimaksud adalah tempat akal dan wahyu dalam sistem agama Islam. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui peranannya adalah dua hal (akal dan wahyu) yang tidak mungkin dicerai-pisahkan. Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan adalah gabungan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab-akibat, dan teknologi adalah kemampuan tehnik berlandaskan proses teknis. Dari rumusan ini dapatlah dikatakan bahwa teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan hidup manusia. Dengan demikian, maka mesin atau alat lainnya yang dipergunakan manusia bukanlah teknologi, walaupun secara umum alat-alat tersebut sering diasosiasikan sebagai teknologi. Mesin telah dipergunakan manusia sejak berabad yang lalu, namun abad tersebut tidak dinamakan era teknologi.
Jadi dalam hal ini Harun Nasution menjelaskan bahwa Kedudukan akal dalam Islam dan dalam memperoleh ilmu pengetahuan, seperti telah dibicarakan, menampung aqidah, syari’ah, akhlak, dan sejarah. manusia tidak pernah dapat memahami ilmu pengetahuan tanpa mempergunakan akal. Dan dengan mempergunakan akalnya secara baik dan benar, sesuai dengan petunjuk Allah. Manusia merasa selalu terikat dan dengan sukarela, mengikat dirinya pada Allah. Manusia dapat berbuat, memahami dan mewujudkan sesuatu dengan mempergunakan akalnya. Karena posisinya demikian, dapatlah dipahami kalau dalam ajaran Islam ada ungkapan yang menyatakan  akal adalah kehidupan, hilang akal berarti kematian. Namun, bagaimanapun kedudukan dan peranan akal dalam ajaran Islam untuk memperoleh pengetahuan, tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan wahyu. Wahyu itu yang membetulkan akal dalam gerak-geriknya kalau menjurus ke jalan yang nyata-nyata salah karena berbagai pengaruh. Karena itulah Allah menurunkan petunjukkan dalam bentuk wahyu.

Pentingnya Akal
Akal, menurut Muhammad Abduh, adalah suatu .daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang mem­perbedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Pening­katan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan surnber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa umat manusia pada waktu Islam datang, demikian Muhammad Abduh, telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Apa yang mereka cari itu, mereka jumpai dalam Islam. Tidak mengherankan kalau ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur’an berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada perasaannya. Aka1, demikian ia menegaskan, dimuliakan Allah dengan menujukan perintah dan larangan-Nya kepada­nya.
Oleh karena itu, dalarn Islamlah “agama dan akal buat per­tama kalinya menjalin hubungan persaudaraan.” Di dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang ter­kuat dan wahyu sendinya yang terutama. Antara akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan. Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid. (Harun Nasution, 1987: 44-46) 

Ilmu dalam al-Qur’an
Menurut al-Qur’an, seperti yang telah di isyaratkan dalam wahyu pertama secara kategorisasi ilmu dibagi dua : Pertama, adalah ilmu yang diperoleh tanpa upaya langsung dari manusia, disebut ilmu ilahi.. Kedua,  Ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, di namia ‘ilmu kasbi atau ilmu insani. Pembagian ilmu ke dalam dua golongan ini dilakukan karena menurut al-Qur’an terdapat hal-hal yang ‘ada’ tetapi tidak diketahui manusia. Disamping itu ada pula wujud yang tidak tampak, karena itu tidak diketahui manusia sebagaimana diulang-ulang ditegaskan al-Qur’an antara lain dalam firman-Nya pada surat al-Haqqah ayat 38-39, yang artinya : Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” Dari kalimat terakhir ini jelas bahwa obyek ilmu ada dua : materi dan non-materi, fenomena dan non-fenomena, bahkan ada juga wujud yang jangankan dilihat, diketahui manusia pun tidak. Kedua ilmu ini menyatu dalam rangkaian paradigma ilmu Islam yaitu ilmu ilahi menuntun ilmu insani, dengan demikian pula dipahami bahwa ilmu manusia sangat terbatas, dan ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya : “Kamu tidak diberikan ilmu (pengetahuan) kecuali sedikit” (al-Isra’ : 85)
Jadi kedudukan akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan adalah tempat akal memperoleh pengetahuan, akal memperoleh pegetahuan dengan menjelaskan wahyu dari Allah dengan bantuan panca indra. Manusia harus menggunakan akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan, memahami dan memproses pengetahuan. Akal adalah tonggak kehidupan sebagai wujud hidup manusia. Karena akal adalah kehidupan dan kehilangan akal berarti kehilangan kehidupan.
Walaupun ilmu yang diberikan Allah kepada manusia amat sedikit, namun manusia harus memanfaatkan ilmu yang diberikan Allah tersebut untuk kemaslahatan manusia. Menurut al-Qur’an, ilmu dicari karena Allah untuk kepentingan manusia, maka semboyan sekuler yang menyatakan “ilmu untuk ilmu” tidak tepat dalam Islam. Yang dibenarkan adalah “ilmu sarat nilai”, oleh  karena itu ilmuan Islam harus menambahkan nilai rabbani (nilai Ilahiah) pada ilmu pengetahuan. Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid.

Tidak ada komentar: