Akal
menghasilkan ilmu, dan hal ini telah terbukti ilmu berkembang pada masa-masa
keemasan sejarah Islam. Dalam ajaran agama yang diwahyukan adal dua jalan
memperoleh pengetahuan, yaitu melalui akal dan wahyu (Nasution, 1986:1). Harun Nasution
berusaha menjelaskan kedudukan akal dalam memperoleh pengetahuan, Harun
Nasution dikenal sebagai seorang tokoh pembaharuan Islam di Indonesia pada
tahun 70an. Dia adalah seorang intelektual muslim Indonesia yang memberikan
perhatian terhadap akal dan wahyu, hal ini dibuktikan oleh beliau dengan
bukunya yang berjudul “Akal dan Wahyu
dalam Islam”. Sedemikian peting menurut Harun penggunaan akal karena agama
atau wahyu yang dibawah oleh nabi pada hakekatnya hanya memberikan
dasar-dasarnya saja dan tugas akal adalah menjelaskan apa yang disampaikan
wahyu yang penggunaan akal dalam memahami agama disebut Ijtihad (Nasution. 1995:66), dan menurut Harun juga yang diperlukan
adalah suatu upaya untuk merasionalisasikan pemahaman umat Islam yang dogmatis
yang menyebabkan kemunduran umat Islam karena kurang mengoptimalkan potensi
akal yang di miliki, Sebelum mengetahui kedudukan akal dalam memperoleh ilmu pengatahuan
ada baiknya mengetahui apa yang dimaksud
dengan akal, kedudukan dan ilmu pengetahuan. Dan keduduka akal dalam
memperoleh ilmu pengetahuan.
Akal, kedudukan, dan ilmu pengetahuan
menurut Harun Nasution
Menurut Harun Nasution kata akal yang sudah menjadi kata
Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, Al-Qur’an hanya
membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh (عقلوه) dalam 1
ayat, Ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, Na’qil (نعقل)
1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun
(يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu dating dalam arti faham dan
mengerti. Sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut:
* tbqãèyJôÜtGsùr& br& (#qãZÏB÷sã öNä3s9 ôs%ur tb%x. ×,Ìsù öNßg÷YÏiB tbqãèyJó¡o zN»n=2 «!$# ¢OèO ¼çmtRqèùÌhptä .`ÏB Ï÷èt/ $tB çnqè=s)tã öNèdur cqßJn=ôèt ÇÐÎÈ
Artinya
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal
segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah
mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah; 75)
Akal adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT yang mempunyai kemampuan untuk
berpikir, memahami, merenungkan, dan memutuskan. Akal jugalah yang membedakan
manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. (Studi Islam, 1997:5) akal
bersama wahyu mempunyai peranan yang penting dalm perjalan hidup manusia, wahyu
diturunkan Allah kepada manusia yang berakal sebagai petunjuk untuk mengarui
lika-liku kehidupan di dunia ini, akal tidak serta merta mampu memahami wahyu
Allah, adalah panca indera manusia yang menyertainya untuk dapat memahami wahyu
yang diturunkan Allah. Juga Harun Nasution dengan mengutip pendapat Abu Huzail
mengenai akal yakni daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga daya yang
membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain diantara benda
satu dan lainnya.
Makna Kedudukan berasal dari kata duduk adalah tempat yang
diduduki sesuatu dalam pola tertentu. Jika kita berbicara tentang kedudukan
akal dan wahyu dalam Islam, yang dimaksud adalah tempat akal dan wahyu dalam
sistem agama Islam. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui
peranannya adalah dua hal (akal dan wahyu) yang tidak mungkin dicerai-pisahkan.
Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan adalah gabungan berbagai pengetahuan yang
disusun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab-akibat, dan
teknologi adalah kemampuan tehnik berlandaskan proses teknis. Dari rumusan ini
dapatlah dikatakan bahwa teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains
untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan hidup manusia. Dengan
demikian, maka mesin atau alat lainnya yang dipergunakan manusia bukanlah
teknologi, walaupun secara umum alat-alat tersebut sering diasosiasikan sebagai
teknologi. Mesin telah dipergunakan manusia sejak berabad yang lalu, namun abad
tersebut tidak dinamakan era teknologi.
Jadi dalam
hal ini Harun Nasution menjelaskan bahwa Kedudukan akal dalam Islam dan dalam
memperoleh ilmu pengetahuan, seperti telah dibicarakan, menampung aqidah, syari’ah,
akhlak, dan sejarah. manusia tidak pernah dapat memahami ilmu pengetahuan tanpa
mempergunakan akal. Dan dengan mempergunakan akalnya secara baik dan benar,
sesuai dengan petunjuk Allah. Manusia merasa selalu terikat dan dengan
sukarela, mengikat dirinya pada Allah. Manusia dapat berbuat, memahami dan
mewujudkan sesuatu dengan mempergunakan akalnya. Karena posisinya demikian,
dapatlah dipahami kalau dalam ajaran Islam ada ungkapan yang menyatakan
akal adalah kehidupan, hilang akal berarti kematian. Namun, bagaimanapun
kedudukan dan peranan akal dalam ajaran Islam untuk memperoleh pengetahuan,
tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan wahyu. Wahyu itu yang
membetulkan akal dalam gerak-geriknya kalau menjurus ke jalan yang nyata-nyata
salah karena berbagai pengaruh. Karena itulah Allah menurunkan petunjukkan
dalam bentuk wahyu.
Pentingnya Akal
Akal, menurut
Muhammad Abduh, adalah suatu .daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena
itu dialah yang memperbedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak
kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal
merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan
surnber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa umat manusia pada waktu Islam
datang, demikian Muhammad Abduh, telah mencapai usia dewasa dan menghendaki
agama yang rasional. Apa yang mereka cari itu, mereka jumpai dalam Islam. Tidak
mengherankan kalau ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur’an berbicara kepada akal
manusia dan bukan hanya kepada perasaannya. Aka1, demikian ia menegaskan, dimuliakan
Allah dengan menujukan perintah dan larangan-Nya kepadanya.
Oleh karena itu, dalarn Islamlah “agama dan akal buat pertama
kalinya menjalin hubungan persaudaraan.” Di dalam persaudaraan itu, akal
menjadi tulang punggung agama yang terkuat dan wahyu sendinya yang terutama.
Antara akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan. Keharusan manusia
mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam
dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad
Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang
kita memakai sikap taklid. (Harun Nasution, 1987: 44-46)
Ilmu dalam al-Qur’an
Menurut
al-Qur’an, seperti yang telah di isyaratkan dalam wahyu pertama secara
kategorisasi ilmu dibagi dua : Pertama, adalah ilmu yang diperoleh
tanpa upaya langsung dari manusia, disebut ilmu ilahi.. Kedua, Ilmu yang diperoleh karena usaha manusia,
di namia ‘ilmu kasbi atau ilmu insani. Pembagian ilmu ke dalam
dua golongan ini dilakukan karena menurut al-Qur’an terdapat hal-hal yang ‘ada’
tetapi tidak diketahui manusia. Disamping itu ada pula wujud yang tidak tampak,
karena itu tidak diketahui manusia sebagaimana diulang-ulang ditegaskan
al-Qur’an antara lain dalam firman-Nya pada surat al-Haqqah ayat 38-39, yang artinya :
Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu
lihat.” Dari kalimat terakhir ini jelas bahwa obyek ilmu ada dua : materi dan
non-materi, fenomena dan non-fenomena, bahkan ada juga wujud yang jangankan
dilihat, diketahui manusia pun tidak. Kedua ilmu ini menyatu dalam rangkaian
paradigma ilmu Islam yaitu ilmu ilahi menuntun ilmu insani, dengan demikian
pula dipahami bahwa ilmu manusia sangat terbatas, dan ini ditegaskan Allah
dalam firman-Nya : “Kamu tidak diberikan ilmu (pengetahuan) kecuali sedikit” (al-Isra’
: 85)
Jadi kedudukan akal dalam
memperoleh ilmu pengetahuan adalah tempat akal memperoleh pengetahuan, akal
memperoleh pegetahuan dengan menjelaskan wahyu dari Allah dengan bantuan panca
indra. Manusia harus menggunakan akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan,
memahami dan memproses pengetahuan. Akal adalah tonggak kehidupan sebagai wujud
hidup manusia. Karena akal adalah kehidupan dan kehilangan akal berarti
kehilangan kehidupan.
Walaupun ilmu
yang diberikan Allah kepada manusia amat sedikit, namun manusia harus
memanfaatkan ilmu yang diberikan Allah tersebut untuk kemaslahatan manusia.
Menurut al-Qur’an, ilmu dicari karena Allah untuk kepentingan manusia, maka
semboyan sekuler yang menyatakan “ilmu untuk ilmu” tidak tepat dalam Islam.
Yang dibenarkan adalah “ilmu sarat nilai”, oleh karena itu ilmuan Islam
harus menambahkan nilai rabbani (nilai Ilahiah) pada ilmu pengetahuan. Keharusan
manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam
dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad
Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang
kita memakai sikap taklid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar