Rabu, 14 April 2010
Modernisasi Budaya Akademik Islam melalui Konfigurasi Nilai
A. Modernisasi Budaya Akademik Islam melalui Konfigurasi Nilai
Dari berbagaimacam bentuk solusi pembaharuan dalam pemikiran pendidikan Islam, sampai dengan saat ini, belum mampu untuk menyelesaikan problematika pendidikan Islam. Perguliran masa dan waktu semakin menunjukan tajinya, yaitu semakin berkembangnya penemuan-penemuan dari hasil pemikiran manusia dan hal tersebut sudah dirasakan bersama manfaatnya bagi kehidupan. Pendidikan Islam belum mampu untuk bersaing dalam kehidupan modern saat ini, terutama dalam perkembangan teknologi dan komunikasi.
Sebuah solusi alternatif dalam pendidikan Islam dan bentuk modernisasi budaya akademik dari hasil pemikiran Sutan Takdir Alisjahaban, sudah selayaknya kita terapkan dalam pendidikan Islam. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana mengemukakan ada enam nilai yang saling keterkaitan dan sangat berpengaruh serta telah terbukti mampu mengembangkan Islam pada abad keemasan Islam yaitu abad ke-8 sampai abad ke-13. nilai-nilai disini diartikan sebagai muatan-muatan yang harus terpenuhi dalam proses pelaksanaan pengajaran dalam pendidikan Islam.
Ke-enam nilai tersebut menurut Sutan Takdir Alisjahbana adalah :
a. Nilai Keagamaan
Nilai keagamaan atau tauhid adalah yang mendorong manusia berusaha memahami dan mencari hubungan dengan rahasia kegaiban dan kemahakuasaan yang melingkupi manusia itu sendiri. Menurut Sutan Takdir, kemahakuasaan Allah adalah totalitas seluruh alam semesta yang tidak dapat dikaji oleh pikiran yang menganalisis-Nya. Allah menolak segala perbandingan karena tiada yang sebanding dengan-Nya. Dalam keadaan rahasia kegaiban Allah adalah sumber segala sesuatu.
Dalam Islam tidak bisa tidak, sebuah nilai agama adalah nilai yang tertinggi, sebab hanya dalam konsep kegaiban, kemahakuasaan, kebesaran, kemaha-mengetahui-Nya, manusia dapat mengerti dan menerima rahasia kegaiban kelahirannya dan kematiannya maupun rahasia kegaiban dan keteraturannya segala sesuatu dalam alam semesta.
Dalam dasar tauhid bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt, dan segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ada yang meciptakannya dan mengaturnya. Dalam pendidikan Islam tauhid adalah yang utama. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana dasar tauhid Islam sangat terkemuka keesaan Allah, yaitu Allah tidak dilahirkan dan tidak melahirkan, tiada yang menyamai-Nya dan tiada sekutu bagi-Nya. Kepada Allah bergantung segala sesuatu, karena kemahakuaan-Nya Ia menciptakn sesuatu, dan mengatur segala sesuatu. Kepada alam semesta diletakan segala-Nya hukum-hukum, dan manusia diberi kedudukan sebagai khalifah untuk mengatur segala makhluk dan bahkan melebihi malaikat.
Dari dasar tauhid tersebut, maka apa yang menjadi materi dalam pembelajaran pendidikan Islam, atau ilmu pengetahuan adalah berasal dari Allah.
b. Nilai Ekonomi
Melalui nilai ketuhanan saja manusia tidak dapat hidup, manusia tidak dapat 24 jam hanya menyerahkan diri kepada tuhan. Untuk dapat melaksanakan hal itu, menurut Takdir Alisjahbana, nilai ekonomi adalah hal yang penting dalam budaya manusia untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannnya dan nilai ini harus dipenuhi.
Nilai ekonomi mendorong manusia untuk dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya dari alam sekitar dan untuk dapat hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya dan menyadari dan menyerah kepada Allah dengan tugas hidupnya didunia.
Dengan demikian nilai ekonomi adalah nilai kedua menurut Takdir dibawah nilai keagamaan. Untuk menciptakan dan memakai atau memanfaatkan alam semesta tentu harus tunduk dan taat kepada norma-norma keagamaan yang menentukan kelakuan manusia supaya berhasil sebaik-baiknya. Nilai ekonomi harus dimiliki oleh manusia Islam demi kelangsungan kehidupan, tentu tujuannya bukan untuk didunia saja, tetapi juga berperan untuk mempersiapkan dirinya pada kehidupan diakhirat.
c. Nilai Ilmu
Segala sesuatu dalam alam ini menurut Takdir adalah diciptakan oleh Allah, dan Allah menunjukan bahwa akal manusia mampu menyelidiki, memikirkan dan mengetahui hukum-hukum yang tidak lain adalah hukum-hukum Allah sendiri. Hasil penyelidikan dan pemikiran manusia dizaman modern kita namakan ilmu atau science. Dengan ilmu manusia mampu memenuhi segala keperluannya dan memanfaatkan alam sudah dikaji melalui ilmu yang didasari akal manusia. Pengertian ilmu disini adalah pengetahuan yang telah sistematis, yaitu susunannya teratur mengenai suatu bidang tertentu yang jelas batasannya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya serta telah disempurnakan bersarkan kumpulan data yang lengkap dan perbaikannya.
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan Menurut Takdir bahwa semua Ilmu pengetahuan bukan berasal dari dunia Islam saja. Tetapi Ilmu pengetahuan berasal dari Allah Swt yang disiratkan melalui ciptaan-ciptannya yang memiliki hukum untuk dikaji dengan akal manusia yang kita sebut dengan hukum alam.
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana ilmu pengetahun, teknologi maupun kemajuan ekonomi, lebih berkembang didunia eropa dibandingkan dunia Timur atau Islam. Pada abad pertengahan orang Eropa belajar kepada orang Islam dan budaya Islam antara lain dengan perantara menterjemahkan buku-buku Islam dan mengunjungi negeri-negeri Islam. Sehingga Eropa mencapai kemajuan dan derajat akademik dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Hal ini justru berbalik dengan dunia Islam. Anti terhadap barat dan agama non-muslim masih menghantui pemikiran umat Islam. Padahal pada abad ke-20 kita semua mengakui bahwa keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi datangnya dari barat. Untuk itu menurut Sutan Takdir Alisjahbana pentingnya kerjasama dan solidaritas antar umat beragama, guna mencapai kemajuan dalam pendidikan Islam diperlukan keterbukaan terhadap sesama umat beragama dalam pandangan ilmu pengetahuan. Bukan pertentang antar umat beragama yang menjadikan pendidikan Islam lebih maju.
Dalam hubungan nilai ilmu, tidak memisahkan antara ilmu agama atau ilmu umum, semua materi yang dipelajari siswa harus mengandung nilai-nilai ilmu pengetahuan yang tentu saja sesuai dengan definisi ilmu pengetahuan.
d. Nilai Seni
Dalam menghadapi alam semesta, manusia tidak hanya menyelidi dan memikirkan nilai keguanaannya saja untuk kehidupan manusia, tetapi juga manusia mempunyai unsur dalam jiwanya untuk memberi kepuasan dalam batin atau perasaan. Alam yang luas ini penuh dengan keindahan, bukan hanya indahnya ketika matahari menyingsing atau terbenam, tetapi juga keindahan bunga, dedaunan, warna-warni hewan, hal itu bagi manusia adalah hal yang sangat mengasikan. Tetapi berbeda pada makhluk lainnya, manusia tidak hanya menikmati keindahan tetapi juga mempunyai dorongan jiwa untuk menciptakan sesuatu keindahan dalam segala bentuk. Dalam hubungan dengan keindahan manusia menjadi makhluk yang kreatif melalui imajinasi dan pemikirannya. Pun dalam tindakan manusia cendrung menginkan etika dan estetika baik dalam pergaulan antar manusia maupun dengan alam semesta .
Oleh karena itu menurut Takdir nilai keempat dalam kehidupan adalah nilai seni dalam bentuk ekspresi yang memancar dari benda seni yang diciptakan manusia. Seni-seni tersebut perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan Islam seperti seni arsitektur, seni kaligrafi, animasi-animasi, dan tentu saja disesuaikan dengan dunia modern yang tak lepas dari norma-norma agama Islam.
e. Nilai Solidaritas
Dalam kehidupan manusia tidak hanya berhadapan dengan alam dan hasil yang ditemukannya, tetapi ia juga berhadapan dengan sesama makhluk manusia. Dalam mengahadapi sesama manusia, yang sama-sama diciptakan Allah. Dalam keadaan ini manusia sama dengan diri kita sendiri, yaitu manusia sama nasibnya yang hidup diturunkan kebumi dengan tiada diminta untuk waktu kehidupan yang sudah dibatasi, ditengah keabadian Allah yang tiada bermula dan tiada berakhir. Dalam hal ini tiada kemungkinan lain bagi manusia kecuali saling tolong menolong dan membantu sesama dalam kehidupan ditengah kemahakuasaan Allah dan rahasia kegaiban bagi manusia. Hal ini menurut takdir disebut nilai solidaritas yaitu manusia yang telah menerima nasibnya untuk membina kehidupan didunia dengan sebaik-baiknya bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga kebersamaan.
Nilai solidaritas ini harus diajarkan kepada peserta didik, nilai solidaritas mengajarkan ilmu-ilmu sosial dalam kehidupan masyarakat.
f. Nilai Kuasa
Dalam hal ini menurut Sutan Takdir Alisjahbana tentang nilai kuasa, akhir segala kekuasaan kembli kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah. Tetapi sudah dikatakan Allah menghembuskan roh-Nya kepada manusia dan menjadikannya khalifah atau wakil Allah dibumi. Seluruh alam tunduk kepada manusia dan dapat dipakainya. Dilihat dari jurusan tersebut menurut Sutan Takdir bahwa kekuasaan manusia dalam Islam bukan mengenai sesorang atas orang lain saja, tetapi mengenai kekuasaan manusia terhadap alam.
Nilai kekuasaan ini harus dimiliki setiap manusia, alam semesta ini diserahkan Allah Swt kepada manusia untuk mengaturnya dan dipergunakan untuk kepentingan manusia, bagaimana mungkin alam semesta yang luas ini diserahkan kepada makhluk yang tidak bisa memimpin, menjaga, dan merawatnya.
Perlunya nilai kuasa diajarkan kepada peserta didik, agar tidak terjadi kesalahan pengertian tehadap definisi manusia sebagai khalifah terhadap manusia maupun alam semesta.
Agama Islam adalah agama yang humanis, yang mengemukakan martabat dan kebebasan manusia sebagai khalifah tuhan di dunia, yang mempunyai akal, mempunyai kecakapan untuk menyelidiki hukum-hukum Allah dan memakai semua itu untuk kepentingan menusia. Dengan demikian jelas bahwa akal atau rasio manusia yang mengkaji hukum-hukum alam dan dengan kerasionalnnya menurut Sutan Takdir Alisjahbana akademik Islam bersifat dasar rasional, maju dan dinamis. Kerasionalan disini diartikan bahwa pendidikan Islam mengajarkan berbagaimacam pemahaman tentang alam kepada manusia yang dapat dikaji dengan rasio atau akal, dan segala bentuk alam terdapat hikmah yang dapat dikaji, kecuali persoalan yang dirahasiakan Allah, hal ini pun setelah dipelajari dan dikaji akal terkandung hikmah demi kemaslahatan manusia itu sendiri.
Pendidikan Islam bukan hanya menggambarkan sebuah pengajaran dogma-dogma tentang akidah, fikih dan ibadah saja. Tetapi menurut Takdir dalam sejarah Islam telah membuktikan Islam adalah agama dan budaya, artinya agama adalah ajaran-ajaran yang bersifat mutlak benar dan budaya dalam arti hasil budi dan pikiran manusia.
Hasil budi dan pikiran manusia, dalam istilah Islam dikenal dengan Ijtihad, bukan mencakup pikiran filosofi dan sains saja, tetapi juga akidah, ibadah dan hukum fikih. Karena ajaran dasar dalam al-Quran juga memerlukan penjelasan dan interprestasi sesuai dengan peranan pentingnya. Melihat hal tersebut, menurut Sutan Takdir pada abad 20 sumber ajaran Islam bukan hanya al-Quran dan Hadits saja tetapi termasuk ijtihad yang tidak lain adalah pemikiran dari akal atau rasio.
Dengan demikian seluruh aspek materi dalam pendidikan Islam dengan rasionalnya mengkonfigurasikan enam nilai diatas, dan tidak terjadi dikotomi terhadap ilmu pengetahuan. Hal tersebut diatas guna mencapai keberhasilan dan peningkatan kualitas pendidikan Islam yang meraih kemajuan disegala bidang baik religius, ekonomi, politik dan kehidupan sosial.
B. Relevansi Budaya Akademik Islam di Era Globalisasi
Pendidikan Islam seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah permulaan dari setiap kemajuan yang akan di capai dalam bentuk apapun oleh generasi Islam. Seperti yang diketahui bersama bahwa pendidikan Islam bukan sekedar perlengkapan dan peralatan fisik semata, seperti kitab-kitab kuning bangunan yang bercirikan Islam, melainkan Intelektualisme Islam yakni keilmuan-keilmuan yang tentu saja bernuansa Islam dan bukan ilmu yang bertentangan dengan syariat, keilmuan-keilmuan ini berdasarkan al-Quran dan haidts.
Dalam kontek pembaharuan melaui intelektualisme Islam. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana perlu merekonstruksi nilai-nilai yang terkandung dalam system akademik Islam. Rekonstruksi tersebut menurut Sutan Takdir adalah berkaitan dengan keadaan umat Islam yang berada dalam keterbelakangan dan kemiskinan. Keterbelakangan diakibatkan oleh tidak banyak umat Islam atau pemikir Islam yang mampu menciptakan teknologi-teknologi yang mendorong kehidupan manusia menjadi lebih baik. Begitupun dengan kemiskinan yang diakibatkan umat Islam fasif terhadap ekonomi yang diluar Islam semakin berkembang dan maju.
Sutan Takdir Alisjahbana menerangkan bahwa pokok keterbelakangan dan kemiskinan serta kejatuhan kekuasaan umat Islam adalah akibat dari umat Islam yang tidak mengembangkan rasio serta kecakapan berfikir. Yang dimaksud disini adalah muatan muatan keilmuan yang diajarkan kepada generasi Islam tidak di iringi dengan tuntutan zaman, sehingga pengetahuan dalam system akademik Islam terkesan monoton dan tak mampu melahirkan generasi yang siap bersaing dizaman modern.
Disinilah dituntut pemikiran-pemikiran baru melalui pengembangan akal yang dimiliki para intelektual Islam, dengan tujuan menjadikan dunia akademik Islam sebagai sarana pengembangan intelektual umat Islam itu sendiri.
Sutan Takdir menjelaskan bahwa Etik Islam adalah etik keagamaan yang berpusat pada Tuhan, manusia mendapat wujud hidupnya dari Tuhan, kepada-Nya ia bergantung, dalam kedhaifan dan kefanaan ia menyerah kepada kegaiban, kemahakuasaan dan kemaha-mengetahui-Nya, ia menyerah kepada Tuhan yang mutlak dan abadi. Meurut Etik tersebut, bahwa manusia hidup tidak lepas dari penciptanya yaitu Allah Swt, tempat bergantung dan memohon, dalam kedhaifan dan kefanaan, manusia menyerah kepada segala kekuasaan Allah.
Yang tidak sesuai dengan etik Islam menurut Sutan Takdir adalah cita-cita penyerahan kepada Tuhan. Penyerahan yang dimaksud adalah pasrah kepada takdir tanpa usaha yang sungguh sungguh, disinilah kebanyakan umat Islam berpegang pada pendirian hanya mengarungi kehidupan sesuai takdir yang diberikan Allah Swt kepadanya. Disinilah menurut Sutan Takdir Alisjahban penyebab umat Islam tidak mengembangkan akal atau rasio.
Ketidak sesuaian prilaku umat Islam pada etik Islam telah menciptakan individu-individu yang pasrah, segala sesuatu diserahkan kepada tuhan. Al-Quran sering berbicara tentang konsep berpasangan seperti al-dunya dan al-akhirah. Al-dunya bermakna bernilai lebih rendah, sisi kehidupan material, sedikit hasil dan tidak memuaskan. Sementara al-akhirah menunjukan sisi sebaliknya, yakni bernilai lebih tinggi, lebih baik, dan menjadi tujuan dari kehidupan.
Nilai lebih tinggi inilah yang menjadi tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang. Padahal Al-Quran juga menyuruh manusia untuk mempelajari kejadian yang terjadi pada diri sendiri, alam semesta, dan sejarah umat manusia dimuka bumi dengan cermat dan mendalam serta mengambil pelajaran darinya agar dapat menggunakannya dengan tepat serta agar tidak mengikuti orang yang berbuat kerusakan. Perbedaan nilai ini juga menjadi salah satu pemicu munculnya persoalan dikotomik dalam dunia pendidikan.
Dalam pendidikan Islam terdapat konsep bentuk ilmu pengetahuan yang ditransmisikan begitu saja atau juga sering disebut pengetahuan “Tradisional” yang didasarkan pada penukilan dan pendengaran di satu pihak, dan konsep pengetahuan yang bersifat rasional atau sekuler dilain pihak.
Berkenaan dengan hal tersebut, seorang ilmuan Amerika R. Redfield mengatakan, terdapat dua konsep tradisi dalam masyarakat yaitu tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Great tradition adalah tradisi dari mereka yang suka berpikir dan dengan kesadaran sendirinya mencakup jumlah orang yang sedikit, sedangkan little tradition adalah tradisi dari sebagian besar orang yang tidak pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang mereka miliki. Tradisi dari para filosof, ulama, dan kaum pelajar adalah tradisi yang ditanamkan dan diwariskan dengan penuh kesadaran, sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi yang sebagian diterima dari pendahulu dengan apa adanya dan tidak pernah diteliti atau disaring pengembangannya.
Terdapat kemunduran kemunduran dalam pendidikan Islam diantaranya dalam teologi, filsafat, dan sain-sain sosial. Teologi yang berkembang dalam Islam dipengaruhi oleh doktrin-doktrin yang bersifat spekulasi dan berlebih-lebihan dari kaum sufi, tradisional, dan rasional sehingga ajaran Islam dipengaruhi oleh banyak doktrin. Kemudian kemunduran dunia filsafat dalam Islam, pada hal. Filsafat menanamkan semangat yang kritis-analisis yang sangat diperlukan dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang menjadi alat intelektual yang penting bagi sains-sains lainnya. Menurut Takdir umat manusia dan Indonesia khususnya akan maju jika mengembangkan rasionalitas, yaitu pemikiran-pemikiran yang memandang persoalan kedepan akan arti pentingnya berbagai macam ilmu pengetahuan, tanpa memdedakan nilai-nilai ilmu pengetahuan lainnya.
Sains sosial termasuk pengetahuan yang perlu di sistematiskan sebagai suatu penomena modern, sains-sain ini menjadi perkembangan yang sangat penting, karena dengan manusia menjadi obyek kajian, sain-sain ini bisa bercerita banyak tentang bagimana kelompok-kelompok masyarakat berprilaku dalam berbagai lapangan keyakinan dan tindakan, hal inilah yang sering kita sebut dengan pelajaran moral.
Pendidikan Islam juga lebih cendrung pada aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor. Strategi pendidikan Islam masih bersifat yaitu untuk menyelamatkan pikiran kaum muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan rusaknya moral-moral Islam.
Sudah banyak persoalan-persoalan yang terjadi dalam akademik Islam, yang pada akhirnya melahirkan para intelektual Islam yang dianggap tidak mampu bersaing dengan kemajuan zaman sehingga dianggap tidak relevan dengan keadaan masakini. Padahal seharusnya budaya akademik Islam harus mampu memproses manusia atau seorang muslim yang beriman kepada Allah Swt, bertaqwa, berakhlak mulia, beramal kebaikan (amal saleh), menguasai ilmu (untuk dunia dan akhirat), dan menguasai keterampilan dan keahlian agar dapat memikul amanah dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Pendidikan Islam harus relevan dengan hal-hal diatas, dengan diwujudkan dalam upaya untuk mengembangkan potensi kepribadian manusia yang meliputi:
1. Pengembangan iman, yang diaktualkan dalam ketaqwaan kepada Allah Swt.
2. Pengembangan cipta, untuk memenuhi kebutuhan hidup material dan kecerdasan, serta mampu memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
3. Pengembangan karsa, untuk menciptakan sikap dan tingkah laku yang baik (etika, akhlak dan moral), sehingga menghasilakan kebaikan.
4. Pengembangan rasa, untuk berperasaan halus (apresiasi seni, persepsi seni, kreasi seni) yang menghasilkan keidahan dalam hidup, sehingga menghasilkan suatu keindahan.
5. Pengembangan karya, untuk menjadikan manusia terampil dan cakap teknologi yang berdaya guna, sehingga menghasilkan sesuatu yang bernilai guna.
6. Pengembangan hati nurani yang diaktualkan menjadi budi nurani yang berfungsi memberikan pertimbangan (iman, cipta, karsa, rasa, dan karya) sehingga menghasilkan kebijaksanaan.
Mengupayakan pengembangan potensi kepribadian manusia Islam diatas adalah wujud dari budaya akademik Islam, yang dalam pandangan Sutan Takdir Alisjahbana disebut konfigurasi nilai. Dan pada akhirnya menjadi jawaban dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi akademik Islam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar