Senin, 24 Mei 2010

Hancurnya Egalitarianisme Islam


Kehidupan Islam di negeri kita terusik dengan masuknya anasir agama dalam wilayah politik dan menjadi komoditi politis. Islam sebagai agama yang mengedepankan etika keselarasan relasi antar manusia, kini terjebak dalam berbagai friksi dan kepentingan. Islam tidak lagi netral. Islam tidak lagi independen, dan Islam tidak lagi egaliter. Kenapa?

Permasalahan egalitarianisme dalam kehidupan Islam sebenarnya bukan hal baru. Sejak era 80-an egalitarianisme telah menjadi wacana perdebatan yang kontroversial. Jika pembaca masih ingat, ketika almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang saat itu menjabat Ketua PBNU didaulat menjadi juri Festival Film Indonesia. Tak hanya itu, kyai kharismatik kelahiran Jombang, Jatim ini juga pernah duduk di kepengurusan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), berbagai hujatan pun meluncur kepada Gus Dur. Dengan enteng, kyai yang mantan Presiden RI ke-4 itu mengatakan bahwa Islam tidak melarang umatnya untuk beraktifitas di bidang apa pun, sejauh masih sesuai dengan kaidah ajaran Islam.

Prinsip egaliter dalam peri kehidupan Islam benar-benar diaplikasikan Gus Dur dalam berbagai situasi sosial, baik di dunia seni, politik, dan keagamaan. Asalkan dengan niat yang benar dan masih menjunjung tinggi norma keislaman, maka sah saja seorang muslim berprofesi apa pun. Tetapi sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud mengupas historiografi almarhum Gus Dur. Hanya persoalan egalitarisme seperti yang pernah ditunjukkan cucu KH Hasyim Asya’ari, kini telah hilang di kalangan umat Islam itu sendiri.

Sejak reformasi bergulir, segala cara pandang terhadap kehidupan berubah drastis. Baik kehidupan sosial, politik, hukum, pendidikan, juga agama. Perubahan menyolok di dalam ranah agama ditandai makin banyaknya ‘pelaku agama’ (baca; kyai) yang berafiliasi dengan partai politik. Bahkan saat ini, Islam sebagai sebuah komunitas sosial, dengan latah ikut mendirikan partai politik. Hadirnya para pemuka agama Islam dan terlibat dalam kegiatan pragmatis-politis mampu menurunkan citra Islam sebagai agama yang penuh rahmat dan dapat menerima segala perbedaan.

Tetapi arus besar politik yang penuh perang kepentingan sesaat, kekuasaan yang melenakan, dan uang yang ‘tak jelas’ asal-usulnya, membuat agama inferior di hadapan institusi politik. Bisa jadi –seperti terjadi saat ini—agama terjebak dalam arus besar politik dan akibatnya umat atau pengikut agama tersebut mengalami kebingungan. Agama telah terseret dalam ranah praktis-pragmatis dan melupakan dimensi universalitas, netralitas, dan egalitarianitas.

Dimensi ini meletakkan agama berada pada titik dilematis antara visi dakwah yang dianjurkan melalui berbagai medium (mungkin termasuk politik) dan kerentanan ‘agama’ menerima godaan politis yang sangat menggiurkan. Akhirnya, fenomena luruhnya spirit universalitas dan egalitarianisme semakin terlihat dalam perilaku kehidupan beragama (baca; Islam). Prinsip kesamaan dan kesejajaran tanpa diganggu strata sosial-politik menjadi luruh tergantikan oleh prinsip eksklusifitas yang meninggikan status pribadi atau komunitas.


Jebakan Politis

Maaf, jika saya menggunakan istilah yang mengundang kontroversi ini. Islam sebagai agama samawi dibawa Rosululloh Muhammad SAW adalah untuk mendudukkan manusia di kursi yang sama tanpa predikat duniawi; yakni kursi makhluk Tuhan. Dalam perspektif Islam, manusia memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih unggul. Dengan tegas, Islam menyatakan manusia hanya dibedakan oleh kadar ketaqwaannya kepada Allah SWT.

Nyatanya, seiring perkembangan peradaban umat manusia, Islam mengalami divertifikasi yang memunculkan beragam aliran keislaman. Masing-masing aliran atau mazhab memiliki konsekuensi dan pendalaman tertentu terhadap kandungan Al Qur’an dan Hadist Nabi. Perbedaan pendalaman ini terkadang memunculkan hambatan dalam tata pergaulan dunia Islam itu sendiri. Lihat tata pergaulan kaum Suni-Syiah, Anshor-Muhajirin, penganut keempat mazhab, hingga Nahdlatul Ulama-Muhammadiyah. Harus diakui, masing-masing memiliki eksklusifitas komunal yang tidak tersentuh kaum atau penganut yang berbeda mazhab.
Munculnya pengkotak-kotakan dalam dunia pesantren, disinyalir juga wujud luruhnya semangat egalitarianisme dalam Islam. Ambil contoh, di kalangan kyai pengasuh pesantren muncul istilah kyai khos, kyai pinggiran, kyai perkotaan, kyai salaf, kyai modern dan mungkin masih banyak lagi. Semua istilah tersebut, menurut penulis, merupakan jebakan politis yang mampu menghancurkan esensi ajaran Islam itu sendiri. Tidak dipungkiri segala pengkotakan tersebut akibat intervensi politik bermotif kepentingan sesaat. Kaum muslim khususnya yang hidup di lingkungan pesantren merupakan komunitas yang memiliki ‘nilai jual’ tinggi. Karena itu komunitas Islam harus didekati dengan berbagai cara. Saudara-saudaraku di pesantren harus menyadari ini!

Fenomena di atas adalah contoh kasus yang berkembang saat ini. Kehidupan Islam telah tercabik oleh kerasnya perang kepentingan politik. Kyai sebagai figur panutan umat –maaf—lebih menikmati terseret arus besar politik, sehingga semangat netralitas dan kesejajaran sosial atau egaliter apa pun partai dan organisasinya, tidak terjadi lagi. Kata ‘afiliasi’ membuat umat muslim kehilangan karakter egalitarianismenya.

Sementara di lingkungan pesantren, spirit egalitarianisme juga terasa luntur. Figur kyai sebagai center of power sebuah pondok pesantren menjadi sosok yang makin untouchable atau tak tersentuh. Berlawanan dengan jaman Rosululloh SAW, yang mana Beliau dengan mudah ditemui dan diajak diskusi oleh siapa saja dan tentang topik apa saja. Ada sebuah riwayat menyatakan Rosululloh SAW pernah duduk berlama-lama dalam satu majelis dengan anak muda (ada tafsir menyebutkan anak kecil) hanya untuk diskusi tentang kwajiban menuntut ilmu. Ini bukti, bahwa dalam Islam siapa yang lebih tahu (baca; kyai atau usztad) harus mau, peduli, dan ‘bisa ditemukan’ oleh siapa saja dan kapan saja.

Karakter inilah yang makin sulit ditemui di kalangan pesantren kita. Prinsip egalitarianisme telah tergerus kesibukan berpolitik, berbisnis, atau mungkin sifat agar dianggap penting. Bukankah dalam budaya kita berkembang jargon; siapa yang makin sulit ditemui berarti makin penting!

Sekali lagi, ajaran universal Islam adalah mendudukkan manusia pada posisi yang sejajar atau egaliter. Seandainya saja, umat Islam menyadari hakikat kesejajaran tersebut, kemungkinan situasi kehidupan keagaamaan kita tidak seperti saat ini, yaitu telah terjadi desakralisasi besar-besaran terhadap ajaran Islam dan menyeretnya ke dalam wilayah profan.

Ada pendapat lain? (*)

Tidak ada komentar: