Sabtu, 05 Februari 2011

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA


A. Pendidikan Islam di Indonesia pada Masa Awal
Proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang pertama melalui bermacam-macam kontak, misalnya kontak jual beli, kontak perkawinan dan kontak dakwah langsung, baik secara individu maupun kolektif. Dari berbagai macam kontak inilah semacam proses pendidikan dan pengajaran Islam berlangsung meskipun dalam bentuknya yang sederhana. Pelajaran yang pertama kali adalah kalimah Syahadat, sebab untuk masuk Islam disyaratkan harus membaca dua kalimah Syahadat terlebih dahulu. Sebab barangsiapa sudah membaca dua kalimah Syahadat berarti seseorang sudah menjadi muslim. Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa ternyata dalam Islam itu praktis sekali, dan dari sana pula pendidikan Islam beranjak dari yang hal-hal yang paling mudah.
Penganjur-penganjur Islam yang mula-mula mengembangkan agama Islam (pendidikan Islam) adalah dengan cara berangsur-angsur dan mudah, sedikit demi sedikit. Pendeknya bila seseorang mengucapkan dua kalimah Syahadat, mengakui rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima telah dianggap sebagai seorang muslim. Kemudian setelah itu barulah diperkenalkan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat lima waktu, diajarkan cara membaca al-Qur’an dan sebagainya.
Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat Muslim Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam sistem yang sederhana, di mana pengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah seperti di masjid, mushalla, bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren; umat Islam di Minangkabau mengambil alih Surau sebagai peninggalan adat masyarakat Minangkabau menjadi lembaga pendidikan Islam; dan demikian pula masyarakat Aceh dengan mentransfer lembaga masyarakat Meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.
Didikan dan ajaran Islam yang diberikan para penyebar Islam pada masa awal berupa contoh dan suri teladan. Mereka berlaku sopan, ramah tamah, tulus ikhlas, amanah dan dapat dipercaya, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta menghormati adat istiadat yang ada, yang menyebabkan masyarakat Nusantara tertarik untuk memeluk agama Islam.

B. Sistem Pendidikan Langgar
Pada hampir di setiap desa yang ditempati kaum muslimin, mereka mendirikan masjid untuk tempat mengerjakan shalat Jum’at, dan juga pada tiap-tiap kampung mereka mendirikan surau atau langgar untuk mengaji al-Qur’an dan tempat mengerjakan shalat lima waktu.
Pendidikan Islam di langgar bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari al-Qur’an. Pendidikan di langgar dikelola oleh seorang petugas yang disebut ‘amil, modin atau lebai (di Sumatera) yang mempunyai tugas ganda, di samping memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi hari atau petang hari sampai satu dua jam. Pelajaran memakan waktu selama beberapa bulan, tetapi pada umumnya sekitar satu tahun.
Anak-anak belajar dengan guru sambil duduk bersila dan belum memakai bangku atau meja. Guru pun duduk bersila. Mereka belajar pada guru seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti pada masa sekarang. Pelajaran awal ialah belajar huruf al-Qur’an atau huruf Hijaiyah. Setelah pandai membaca huruf hijaiyah tersebut, baru membaca Juz Amma yaitu surat-surat pendek yang diturunkan di Mekkah, setelah itu barulah belajar membaca al-Qur’an. Sementara itu diajarkan juga tata cara mengerjakan wudhu, tata cara shalat, masalah keimanan, yang lebih dikenal dengan sifat dua puluh serta akhlak yang diajarkan melalui cerita-cerita seperti Nabi-nabi, orang-orang yang shaleh sehingga diharapkan anak mampu meneladaninya.
Satu hal yang belum dilaksanakan pada pengajaran al-Qur’an di langgar, dan ini merupakan kekurangannya adalah tidak diajarkannya menulis huruf al-Qur’an (huruf Arab), dengan demikian tujuan yang ingin dicapai hanya membaca semata. Padahal yang seharusnya menurut metode baru dalam pengajaran belajar menulis bersama-sama dengan belajar membaca, artinya sesudah belajar membaca harus diajarkan pelajaran menulis.
Pengajian al-Qur’an pada pendidikan di Langgar dibedakan pada dua macam, yaitu :
1. Tingkatan rendah, merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenai huruf al-Qur’an sampai bisa membacanya diadakan pada tiap-tiap kampung, dan anak-anak hanya belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah shalat shubuh.
2. Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, ditambah lagi dengan pelajaran lagu, qasidah, tajwid serta mengaji kitab perukunan.
Adapun tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur’an dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya. Jadi dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan tentang pemahaman akan isi dan makna al-Qur’an tersebut.
Pada penyelengaraan pendidikan langgar murid tidak dipungut biaya sekolah, akan tetapi tergantung kepada kerelaan orang tua murid yang boleh memberikan tanda mata berupa benda atau yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hubungan antara anak didik dengan guru pada pendidikan langgar berlangsung terus walaupun kelak murid melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Mengenai metode penyampaian materi pada pendidikan langgar memakai dua sistem, yaitu sistem sorogan, dimana dengan sistem ini anak secara perorangan belajar dengan guru/kyai, dan sistem halaqah yakni seorang guru/kiai dalam memberikan pengajarannya duduk dengan dikelilingi murid-muridnya.
Memang, dalam bentuk yang permulaan, pendidikan agama Islam di surau atau langgar atau di masjid masih sangat sederhana. Modal pokok mereka yang dimiliki hanya semangat menyiarkan agama bagi yang telah mempunyai ilmu agama, dan semangat menuntut ilmu bagi anak-anak. Yang penting bagi guru agama adalah dapat memberikan ilmunya kepada siapa saja, terutama pada anak-anak.
Di pusat-pusat pendidikan seperti ini (surau, langgar atau masjid bahkan di serambi rumah guru) berkumpul sejumlah murid, besar dan kecil, duduk di lantai menghadap sang guru belajar mengaji. Hal seperti ini lebih dikenal dengan istilah halaqah.

C. Pendidikan Islam pada Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Masa kerajaan Islam di Indonesia merupakan salah satu dari periodesasi perjalanan Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, sebab lahirnya kerajaan Islam yang disertai dengan berbagai kebijakan dari para penguasanya saat itu, sangat mewarnai sejarah Islam di Indonesia, terlebih-lebih agama Islam pernah dijadikan sebagai agama resmi kerajaan pada saat itu.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa kerajaan Islam di Indonesia serta bagaimana peranannya dalam pendidikan Islam dan dakwah Islamiyah.

Kerajaan Islam di Aceh

a. Kerajaan Islam Perlak
Kerajaan ini didirikan pada tahun 840 M. oleh Sultan Alaiddin Said Maulana Abdul Aziz Syah.Perlak merupakan daerah yang sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu. Berdasarkan faktor demikian maka Islam dengan mudah sekali masuk dan berkembang di Perlak tanpa menimbulkan kegoncangan sosial dengan penduduk pribumi.
Berita perjalanan Marcopolo, seorang pengeliling dunia berkebangsaan Italia yang pernah singgah ke Perlak pada tahun 1292 M. Dia menerangkan bahwa ibukota Perlak ramai dikunjungi pedagang Islam dari Timur Tengah, Persia dan India yang segaligus melakukan tugas dakwah. Menurut catatannya, Sultan Perlak yang bernama Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M. terkenal sebagai seorang sultan yang arif bijaksana lagi alim sekaligus seorang ulama. Sultan ini juga yang mendirikan semacam perguruan tinggi Islam pada saat itu.
Begitu juga pada Kerajaan Islam Perlak ini terdapat suatu lembaga lainnya berupa majelis ta’lim tinggi, yang dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim dan mendalam ilmunya. Pada majelis ta’lim ini diajarkan kitab-kitab agama yang punya bobot dan pengetahuan tinggi, seperti kitab al-Um karangan Imam Syafi’i dan sebagainya. Dengan demikian di Kerajaan Islam Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan dengan baik.

b. Kerajaan Samudera Pasai
Para ahli sejarah sependapat bahwa Islam sudah masuk ke daerah Sumatera sejak abad ke-7 atau ke-8 M. Namun, meskipun Islam sudah masuk sejak abad ke-7 M., ternyata dalam perkembangannya memerlukan suatu proses yang sangat panjang untuk bisa mendirikan sebuah kerajaan besar. Memang rasanya tidak mungkin, begitu Islam masuk ke Indonesia langsung berdiri sebuah kerajaan besar. Hal ini bisa dipahami karena Islam pertama kali disebarkan oleh para pedagang baik itu dari Arab langsung maupun dari Gujarat dan Persia dengan cara damai, ditambah lagi masyarakat Islam tidak begitu berambisi untuk merebut kekuasaan politik yang menybabkan Islam berjalan dengan damai dan wajar.
Seorang pengembara dari Maroko yang bernama Ibnu Batutah pernah singgah di Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1345 Mesir pada zaman pemerintahan Sultan Malik az-Zahir, saat perjalanannya ke Cina. Ibnu Batutah menuturkan bahwa ia sangat mengagumi keadaan kerajaan Samudera Pasai, dimana rajanya sangat alim dan kedalaman ilmu keagamaannya dengan menganut faham mazhab Syafi’i seraya menerapkan pola hidup yang sangat sederhana.
Menurut apa yang dikemukakan Ibnu Batutah tersebut, dapat ditarik kepada sistem pendidikan yang berlaku di zaman Kerajaan Samudera Pasai, yaitu:
1. Materi pendidikan dan pengajaran agama di bidang syari’at ialah fiqh mazhab Syafi’i.
2. Sistem pendidikannya secara informal berupa majelis ta’lim dan halaqah.
3. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh agama.
4. Biaya pendidikan agama bersumber dari negara.
Pada zaman Kerajaan Pasai ini, sudah terjadi hubungan antara Malaka dengan Pasai, bahkan Islam berkembang di Malaka lewat Samudera Pasai. Raja Malaka memeluk Islam karena menikah dengan puteri dari Kerajaan Pasai.

c. Kesultanan Aceh Darussalam
Pada waktu kerajaan Islam Samudera Pasai mengalami kemunduran, di Malaka berdiri sebuah kerajaan yang diperintah oleh Sultan Muhammad Syah. Namun kerajaan inipun tidak bisa bertahan lama, setelah mengalami masa keemasan yaitu ketika Sultan Muzaffar Syah (1450) memerintah. Setelah itu terus mengalami kemunduran. Ia tidak mampu menaguasai pengaruh dari luar terutama yang berada di Aceh. Maka sejak itulah Kesultanan Aceh Darussalam berkembang.
Kesultanan Aceh Darussalam diproklamasikan pada tanggal 12 Zulkaedah 916 H (1511 M.) menyatakan perang terhadap buta huruf dan buta ilmu. Hal ini merupakan tempaan sejak berabad-abad yang lalu yang berlandaskan pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan.
Kesultanan Aceh Darussalam pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjananya yang terkenal di dalam dan di luar negeri, sehingga orang-orang dari luar berdatangan ke Aceh untuk menuntut ilmu. Bahkan ibukota Kesultanan Aceh Darussalam terus berkembang menjadi ibu kota internasional dan menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Di antara ulama yang terkenal di Kesultanan Aceh Daraussalam yaitu Hamzah Fansuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri dan Abd al-Rauf al-Sinkili. Mereka selain sebagai ulama ada juga di antaranya yang bekerja mendampingi sultan sebagai qadhi atau sebagai mufti kerajaan.
Dalam bidang pendidikan di Kesultanan Aceh Darussalam benar-benar mendapat perhatian yang sangat besar. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya:
1. Balai Seutia Hukama
Balai ini merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Balai Seutia Ulama
Balai ini merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.

3. Balai Jama’ah Himpunan Ulama
Balai ini merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Adapun jenjang pendidikan yang ada adalah sebagai berikut :
1. Meunasah
Didirikan di tiap-tiap kampung, Meunasah dapat disejajarkan dengan sekolah dasar, biasanya anak yang berusia 6-7 atau 8 tahun disuruh belajar mengaji (membaca al-Qur’an) di Meunasah. Juga diajarkan menulis huruf Arab, ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam. Di samping itu Meunasah juga berfungsi sebagai tempat shalat berjama’ah, pengajian, perayaan hari-hari besar Islam, penyelesaian persengketaan, musyawarah mengenai kepentingan masyarakat, upacara pernikahan dan lain-lain, menyebabkan kehidupan beragama anak diharapkan semakin berkembang.
2. Rangkang
Diselenggarakan di setiap mukim, merupakan masjid sebagai tempat berbagai aktivitas umat termasuk pendidikan. Rangkang adalah setingkat Madrasah Tsanawiyah. Materi yang diajarkan: bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab) akhlak, fiqh dan lain-lain.
3. Dayah
Terdapat di setiap daerah ulebalang dan terkadang berpusat di masjid, dapat disamakan dengan Madrasah Aliyah sekarang. Materi yang diajarkan; fiqh, bahasa Arab, tauhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi, sejarah/tata negara, ilmu pasti dan faraid.
4. Dayah Teuku Cik
Dapat disamakan dengan perguruan tinggi atau akademi, diajarkan fiqh, tafsir, hadist, tauhid (ilmu kalam), akhlak/tasawuf, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan Tata Negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa di Kesultanan Aceh Darussalam ilmu pengethuan benar-benar berkembang dengan pesat dan mampu melahirkan para ulama dan ahli ilmu pengetahuan, seperti Hamzah Fansuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Rauf al-Sinkili dan Syeikh Abdur Rauf Tengku Syiah Kuala, yang merupakan nama-nama yang tidak asing lagi. Sampai saat ini bahkan di antara mereka diabadikan namanya menjadi nama perguruan tinggi negeri terkenal yaitu IAIN al-Raniri dan Universitas Syiah Kuala. Kerajaan Siam serta dimakamkan di tanah semenanjung Malaya.

Kerajaan Islam di Jawa
a. Kerajaan Islam Demak
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah putera dari seorang raja Majapahit yang bernama Sri Kertabumi pada tahun 1478 M. Setelah keruntuhan Majapahit. Kehadiran kerajaan Islam Demak dipandang oleh rakyat Majapahit sebagai cahaya baru yang membawa harapan dan kekuatan baru yang akan menghalau segala bentuk penderitaan lahir batin dan mendatangkan kesejahteraan. Dengan berdirinya Kerajaan Islam Demak di Jawa, maka penyiaran agama Islam makin meluas, pendidikan dan pengajaran Islam pun bertambah maju.
Tentang sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran Islam di Demak mempunyai kemiripan dengan yang dilaksanakan di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat yang menjadi sentral di suatu daerah, di sana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi seorang guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam.
Pada abad XV Majapahit makin pudar kekuasaannya, tetapi Islam yang sudah menapak di pantai Utara pulau Jawa makin memperkuat kedudukannya. Dari pantai Utara Demak Islam menerobos makin jauh ke pedalaman dan serentak dengan itu Kerajaan Majapahit yang Hindu berakhir riwayatnya. Para penyebar Islam di Jawa biasanya disebut Walisongo (sembilan wali) yang sering melakukan pendekatan kebudayaan dalam menyebarkan Islam.
Menurut Babad Tanah Jawi penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dilakukan oleh Walisongo. Para pengarang babad Jawa bertahan bahwa agama Islam telah didakwahkan di pulau ini oleh kesembilan mubaligh yang anggap sebagai orang shaleh yang disebut wali berasal dari bahasa Arab Waliyu Allah (Orang yang dilindungi Allah). Para Walisongo memang bukan saja pembuka kurun waktu baru dalam Islam di Jawa yang mengakhiri zaman Jawa Hindu, melainkan juga menguasai zaman berikutnya yang terkenal oleh orang Jawa sebagai zaman kuwelan (zaman para wali).
Wali suatu daerah diberi gelar resmi, yaitu gelar Sunan dengan ditambah nama daerahnya, sehingga tersebutlah nama seperti: Sunan Gunung Jati, Sunan Geseng, Kiai Ageng Tarub, Kiai Ageng Sela dan lain-lain.
Memang antara kerajaan Demak dengan wali-wali yang sembilan atau Walisongo terjalin hubungan yang bersifat khusus, yang boleh dikatakan semacam hubungan timbal balik, di mana sangat besar peranan para Walisongo di bidang dakwah Islam dan juga Raden Fatah sendiri menjadai raja adalah atas keputusan para wali dan dalam hal ini para wali tersebut juga sebagai penasehat dan pembantu raja.
Dengan kondisi yang demikian, maka yang menjadi sasaran pendidikan dan dakwah Islam meliputi kalangan pemerintah dan rakyat umum.
Adanya kebijaksanaan wali-wali menyiarkan agama dan memasukkan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan nasional Indonesia, sangat menggembirakan, sehingga Islam dapat tersiar di seluruh kepulauan Indonesia.
b. Kerajaan Islam Mataram (1575-1757)
Kerajaan Demak ternyata tidak bertahan lama, pada tahun 1568 M terjadi perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang. Namun adanya perpindahan ini tidak menyebabkan terjadinya perubahan yang berarti terhadap sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang sudah berjalan.
Baru setelah kerajaan Islam berpindah dari Pajang ke Mataram terutama di saat Sulan Agung telah mempersatukan Jawa Timur dengan Mataram serta daerah-daerah yang lain, sejak tahun 1630 M Sultan mencurahkan perhatiannya untuk membangun negara, seperti menggalakkan pertanian, perdagangan dengan luar negeri dan sebagainya, bahkan pada zaman Sultan Agung, kebudayaan, kesenian dan kesusastraan sangat maju.
Atas usaha dan kebijaksanaan Sultan Agunglah kebudayaan yang lama yang berdasarkan Indonesia asli dan Hindu dapat diadaptasikan dengan agama dan kebudayaan Islam, seperti :
1. Grebek disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan Maulud Nabi. Sejak saat itu terkenal dengan Grebek Posi (puasa) dan Grebek Maulud.
2. Gamelan Sekaten yang hanya dibunyikan pada Gerebek Maulud atas kehendak Sultan Agung dipukul di halaman masjid besar.
Sementara itu di beberapa kabupaten diadakan pesantren dasar, yang dilengkapi dengan pondoknya, utnuk kelanjutan santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren-pesantren desa. Pesantren ini adalah sebagai lembaga pendidikan tingkat tinggi.
Kitab-kitab yang diajarkan pada pesantren besar itu ialah kitab-kitab besar dalam bahasa Arab, lalu diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah dan dilakukan secara halaqah. Adapun ilmu-ilmu yang diajarkan di sini adalh fiqh, tafsir, hadist, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya. Selain pesantren besar, juga diselenggarakan semacam pesantren takhassus yang mengajarkan satu cabang ilmu agama dengan cara mendalam atau spesialisasi.


Daftar Pusraka

A. Hasyimi, Iskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Hasbullah Bakri, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: LSIK, 1996.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Iskan di Indonesia, Jakarta: LSIK, 1986.
Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1980.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hirdakarya Agung, 1985.
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Bharata, 1985.
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif, 1978.
Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali, 1983.
Yusuf Abdullah Puar, Masuknya Islam Ke Indonesia, Jakarta: Indraja, 1993.
Zaini Muhctarom, Santri dan Abangan, Jakarta: INIS. 1994.

1 komentar:

Zainal Masri mengatakan...

mkasih banyak y atas brbagi ilmunya....mudah2n jdi ilmu yg brmanfaat disisiNya amin...