Rabu, 02 Maret 2011

Bersahaja Dalam Hidup

Oleh KH ABDULLAH GYMNASTIAR


Apapun OPINI yang berkembang tentang AA Gim, tapi apa yang ia katakan dan ia tulis dalam karya bukunya bisa membuat orang sadar dan mawas diri... Aa Gim banyak memberi motivasi. Semoga bermanfaat....

Post Oleh: Rosi NS, S.Pd.I

"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudaranya setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya"
(QS. Al Israa 17:26-27).

Kecenderungan manusia berperilaku boros terhadap harta memang sudah ada di dalam dirinya. Ditambah lagi perilaku boros adalah salah satu tipu daya setan terkutuk yang membuat harta yang kita miliki tidak efektif mengangkat derajat kita. Harta yang dimiliki justru efektif menjerumuskan, membelenggu, dan menjebak kita dalam kubangan tipu daya harta karena kita salah dalam menyikapinya.
Hal ini dapat kita perhatikan dalam hidup keseharian kita. Orang yang punya harta, kecenderungan untuk menjadi pecinta harta akan lebih besar. Makin bagus, makin mahal, makin senang, maka makin cintalah ia kepada harta yang dimilikinya. Lebih dari itu, maka ingin pulalah ia untuk memamerkannya. Terkadang apa saja ingin dipamer-pamerkan. Ada yang pamer kendaraan, pamer rumah, pamer mebel, pamer pakaian, dan lain-lain. Sifat ini muncul karena salah satunya kita ini ingin tampil lebih wah, lebih bermerek, atau lebih keren dari orang lain. Padahal, makin bermerek barang yang dimiliki justru akan menyiksa diri.
Suatu pengalaman ketika seseorang memberi sebuah ballpoint. Dari tampangnya ballpoint ini saya pikir sangat bagus, mengkilat, dan ketika dipakai untuk menulis pun enak. Tapi tiba-tiba ballpoint ini menjadi barang yang menyengsarakan ketika ada yang memberi tahu bahwa ballpoint yang mereknya "MP" itu adalah sebuah merek terkenal untuk ukuran sebuah benda bernama ballpoint. Mulanya tidak mengerti sama sekali. Tadinya saya kira harganya paling cuma ribuan rupiah saja. Nah, gara-gara tahu itu ballpoint mahal, sikap pun jadi berubah. Tiba-tiba jadi takut hilang, ketika dibawa takut jatuh, ketika dipinjam takut cepat habis tintanya karena tintanya pun mahal, mau disimpan takut jadi mubazir, mau dikasihkan ke orang lain sayang, ditambah lagi saat dipakai pun malu, mungkin nanti ada yang komentar "Wah, Aa ballpoint-nya ballpoint mahal!". Begitulah, nasib punya barang bermerek, tersiksa!
Sebaliknya, kalau kita terbiasa dengan barang yang biasa-biasa, dapat dipastikan hidup pun akan lebih ringan. Karenanya, hati-hatilah saudaraku. Apalagi dalam kondisi ekonomi bangsa kita yang sedang terpuruk seperti saat ini. Kita harus benar-benar mengendalikan penuh keinginan-keinginan kita jikalau ingin membeli suatu barang.
Ingat, yang paling penting adalah bertanya pada diri apa yang paling bermamfaat dari barang yang kita beli tersebut. Buat pula skala prioritas, misalnya, haruskah membeli sepatu seharga 1 juta rupiah padahal keperluan kita hanya sebentuk sepatu olahraga. Apalagi dihadapan tersedia aneka pilihan harga, mulai dari yang 700 ribu, 400 ribu, 200 ribu, sampai yang 50 ribu rupiah. Mereknya pun beragam, tinggal dipilih mana kira-kira yang paling sesuai. Nah, kalau kita ada dalam posisi seperti ini, maka carilah sepatu yang paling tidak membuat kita sombong ketika memakainya, yang paling tidak menyikasa diri dalam merawatnya, dan yang paling bisa bermamfaat sesuai tujuan utama dari pembelian sepatu tersebut. Hati-hatilah, sebab yang biasa kita beli adalah mereknya, bukan awetnya, karena kalau terlalu awet pun akan bosan pula memakainya. Jangan pula tergesa-gesa, dan ketahuilah bahwa pemboros-pemboros itu adalah saudaranya setan.
Jelaslah kiranya bahwa sikap boros lebih dekat kepada perilaku setan, naudzubillaah. Karenanya, budaya bersahajalah salah satu budaya yang harus kita tanamkan kuat-kuat dalam diri. Memilih hidup dengan budaya bersahaja bukan berarti tidak boleh membeli barang-barang yang bagus, mahal, dan bermerek. Silahkan saja! Tapi ternyata kalau kita berlaku boros, sama sekali tidak akan menjadi amal kebaikan bagi kita.
Saya kira hikmah dari krisis ekonomi yang menimpa bangsa kita, salah satunya kita harus benar-benar mengendalikan keinginan kita. Tidak setiap keinginan harus dipenuhi. Karena jikalau kita ingin membeli sesuatu karena ingin dan senang, ketahuilah bahwa keinginan itu cepat berubah. Kalau kita membeli sesuatu karena suka, maka ketika melihat yang lebih bagus, akan hilanglah selera kita pada barang yang awalnya lebih bagus tadi. Belilah sesuatu hanya karena perlu dan mampu saja. Sekali lagi, hanya karena perlu! Perlukah saya beli barang ini? Matikah saya kalau tidak ada barang ini? Kalau tidak ada barang ini saya hancur tidak? Itulah yang harus selalu kita tanyakan ketika akan membeli suatu barang. Kalau saja kita masih bisa bertahan dengan barang lain yang lebih bersahaja, maka lebih bijak jika kita tidak melakukan pembelian.
Misalnya, ketika tersirat ingin membeli motor baru, tanyakan; perlukah kita membeli motor baru? Sudah wajibkah kita membelinya? Nah, ketika alasan pertanyaan tadi sudah logis dan dapat diterima akal sehat, maka kalau pun jadi membeli pilihlah yang skalanya paling irit, paling hemat, dan paling mudah perawatannya. Jangan berpikir dulu tentang keren atau mereknya. Cobalah renungkan; mending keren tapi menderita atau irit tapi lancar? Tahanlah keinginan untuk berlaku boros dengan sekuat tenaga, yakinlah makin kita bisa mengendalikan keinginan kita, Insya Allah kita akan makin terpelihara dari sikap boros. Sebaliknya, jika tidak dapat kita kendalikan, maka pastilah kita akan disiksa oleh barang-barang kita sendiri. Kita akan disiksa oleh kendaraan kita dan disiksa oleh harta kita yang kita miliki. Rugi, sangat rugi orang yang memperturutkan hidupnya karena sesuatu yang dianggap keren atau bermerek. Apalagi, keren menurut kita belum tentu keren menurut orang lain, bahkan sebaliknya bisa jadi malah dicurigai. Karena ada pula orang yang ketika memakai sesuatu yang bermerek, justru disangka barang temuan.
Seperti kisah santri di sebuah pesantren. Saat ada santri yang memakai sepatu yang sangat bagus dengan merek terkenal, justru disangka sepatu jamaah yang ketika berkunjung ke pesantren tersebut tertinggal di mesjid. Lain waktu, ada juga yang memakai arloji sangat bagus dengan merek terkenal buatan dari negeri Swiss sana, tapi orang lain justru malah berprasangka kalau arloji itu barang temuan dari tempat wudhu. Begitulah, bagi orang yang maqam-nya murah meriah, ketika memakai barang mahal justru malah dicurigai.
Karenanya, biasakanlah untuk senantiasa bersahaja dalam setiap yang kita lakukan. Dan mudah-mudahan dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menjadi orang yang terpelihara dari perbuatan sia-sia dan pemborosan
Dalam 7B (kiat menjadi pribadi yang sukses), bersahaja dalam hidup merupakan B yang kelima setelah beribadah dengan benar dan istiqamah, berakhlaq baik, belajar tiada henti, dan bekerja keras dengan cerdas.
Orang kaya bukanlah orang yang banyak uangnya tetapi orang kaya, salah satunya adalah orang yang sedikit kebutuhannya. Mengapa demikian? Karena tidak sedikit orang yang merasa kaya dengan harta, tabungan, atau rumahnya yang megah padahal pribadinya miskin. Dia meraup harta dari sana sini karena miskin pribadinya. Dia relakan dirinya terhina dengan mencuri uang dan mengambil kekayaan orang lain. itu adalah ciri-ciri orang yang mempunyai kekayaan dunia tapi berkepribadian miskin.
Orang yang tidak bersahaja dalam hidup, kebutuhan dan pengeluarannya sangatlah banyak. Akibatnya, biaya untuk sedekah dan menabung menjadi sedikit karena dia terus menerus memuaskan dirinya dengan membeli perhiasan, mengganti mobil atau rumah, atau membeli komoditas lainnya untuk memenuhi kepuasannya.
Membeli sesuatu yang diinginkan adalah hak masing-masing orang. Tidak ada yang melarang seseorang untuk membeli sesuatu yang diinginkannya dengan uangnya. Tapi, kita membutuhkan orang-orang yang senang menafkahkan hartanya di jalan Allah dan menjadi mashlahat bagi sebanyak-banyaknya umat. Inilah yang dimaksud dengan bersahaja dalam hidup.
Apakah keuntungannya jika kita membiasakan bersahaja dalam hidup? Pertama, kita tidak akan diperbudak oleh kekayaan kita. Kebiasaan untuk pamer atau bangga akan apa yang dimiliki menjadi sesuatu yang hina.
Kedua, biaya hidup bisa lebih rendah. Barang-barang yang mahal harganya akan menguras seluruh uang, tenaga, dan pikiran kita untuk merawat, menjaga, dan memperbaikinya jika barang itu rusak.
Ketiga, menghindarkan orang lain dari rasa iri dan kotor hati. Dan siapa tahu hal ini bisa membuat seorang [pencuri berpikir dua kali untuk mencuri barang orang lain.
Bersahaja itu tidak identik dengan murah. Kalau kita membeli barang murah tapi cepat rusak, ini bisa mendatangkan masalah. Misalkan, ada orang yang ingin makanannya bersahaja hingga ia membeli yang murah (kurang menyehatkan) karena sisanya akan ditabungkan. Tapi bila akhirnya dia sakit hingga biaya pengobatannya lebih besar dari tabungannya, maka ini tak proporsional. Pembelanjaan yang proporsional adalah yang sesuai dengan keperluan dan kemampaun.
Firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S Al Furqaan 25:67) .
Bertanyalah pada diri jikalau akan membeli sesuatu. Misalkan, “Untuk apa saya membeli kursi? Untuk apa saya mengganti mobil? Perlukah saya mengganti motor padahal baru setahun?” Kalau memang diperlukan silahkan membelinya.
Bersahaja itu bukan berarti miskin, murah atau jelek. Rasulullah adalah orang yang sangat bersahaja dalam hidup. Dengan kebersahajaannya, tidaklah berkurang kemuliaannya. Kuda yang dimilikinya amatlah bagus dan gagah. Beliau membutuhkan kuda-kuda tersebut untuk dapat berkendaraan dengan baik.
Rasulullah menganjurkan kita mempunyai rumah yang lapang kalau itu memang diperlukan. Rumah Rasulullah sangatlah sederhana karena sebagai pemimpin beliau harus meraba hati orang miskin. Beliau juga harus meneladani umatnya untuk hidup bersahaja walaupun beliau sanggup membeli rumah yang besar dan bagus.
Kendati demikian, kita jangan menilai orang lain dengan alat ukur kita. Bisa jadi orang lain membeli barang mahal karena memang benar-benar membutuhkannya.
Misalkan, ada orang yang memakai mobil mewah karena aktviitasnya sangat membutuhkan kenyamanan. Sedekahnya lebih banyak dari harga mobil mewah yang dimilikinya. Hal ini tidaklah mengapa. Tapi andaikata sedekahnya lebih sedikit dibanding biaya belanjanya, dan dia sangatlah pelit terhadap siapapun, maka hal ini sudah tidak proporsional lagi.
Sebaiknya para pemimpin pandai meraba penderitaan rakyat dan lebih bersahaja dalam hidup. Janganlah mereka membeli sesuatu yang mewah di saat rakyat sedang kelaparan. Apakah tidak sebaiknya dana itu digunakan untuk memberdayakan rakyat, minimal yang ada di sekitarnya?
Semoga Allah Yang Maha Kaya memperkaya bathin kita dengan merasa cukup dengan karunia Allah. Jangan sampai kita merasa kaya dengan apa yang kita miliki, tapi kita harus merasa kaya dengan apa yang Allah jaminkan kepada kita. Wallahua’lam.***

Tidak ada komentar: