Rabu, 02 Maret 2011

Menghindari Ghibah


Oleh KH ABDULLAH GYMNASTIAR

Apapun OPINI yang berkembang tentang AA Gim, tapi apa yang ia katakan dan ia tulis dalam karya bukunya bisa membuat orang sadar dan mawas diri... Aa Gim banyak memberi motivasi.
Semoga bermanfaat....

Post Oleh: Rosi NS, S.Pd.I


Saudariku, jika kita renungi sebelum kita berkata-kata, sesungguhnya kata-kata itu tawanan kita. Akan tetapi, sesudah terlontar dari lisan, justru kitalah yang ditawan oleh kata-kata sendiri. Buktinya? Betapa banyak orang yang sengsara, menanggung malu, terbebani batinnya, bahkan membuat nyawanya melayang. Semua itu gara-gara kata-kata yang salah ucap, yang keluar dari mulutnya sendiri. Begitu banyak contoh nyata dalam kejadian kesehari-hari yang bisa membuktikan semua ini.
Mungkin suatu ketika kita baca di koran berita tentang pelajar SMU yang terlibat pergaulan bebas dengan temannya. Biasanya, mulut ini begitu gatal untuk segera berkomentar, "Mareka sebenarnya adalah korban-korban dari ketidakbecusan para orangtuanya dalam mendidik anak." Atau, kadang-kadang ketika berkumpul bersama teman-teman, kita sering dengan sadar dan bahkan dinikmati, terjebak dalam perbuatan ghibah, mengumbar-umbar aib dan keburukan orang lain, teman, atau bahkan beberapa sikap dan periaku orangtua sendiri yang dalam penilaian hawa nafsu kita, tidak kita sukai.
Nah, bila kita kerap kali senang menggelincirkan lisan ini ke dalam perbuatan-perbuatan demikian, maka pertanyaan yang harus segera diajukan terhadap diri sendiri adalah: Mestikah saya berbicara? Haruskah saya mengomentari masalah ini? Mengapa saya harus ikut-ikutan memberikan penilaian, padahal kita sendiri mungkin tidak tahu permasalahan yang sebenarnya?
Hendaknya kita tidak membiarkan mulut ini sembarang berbunyi. Daripada berakibat sengsara, lebih baik menahan diri. Misalnya, ada seorang wanita yang bertubuh gemuk, lantas kita tanya: "Berat badan Mbak berapa kilo?" Ah, buat apa bertanya semacam itu! Karena pasti akan membebani perasaannya?
Atau, mendapati seorang terman yang orangtuanya ditimpa musibah bercerai, padahal teman tersebut sangat menutup-nutupinya, eh kita malah bertanya: "Oh, sudah bercerai, ya? Kapan bercerainya? Mengapa bercerai?" Coba pikir, untuk apa bertanya seperti itu? Meskipun kenyataannya memang bercerai misalnya, tetapi kata-kata atau pertanyaan kita hanya akan mempersulit orang lain.
Karenanya usahakanlah kata-kata yang keluar dari lisan ini kita kemas sedemikian rupa, sehingga membawa manfaat dan maslahat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Jangan sampai kita menjadi manusia yang gemar menggunjing orang lain.
Ada sebuah hadits yang menjelaskan mengenai definisi menggunjing (ghibah): “Tahukah kalian apa itu ghibah? Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi Muhammad saw. bersabda : “Kamu menyebut saudaramu dengan hal yang tidak disukainya.” Ditanyakan : “Bagaimana jika apa yang aku katakan itu ada pada diri saudara itu?” Nabi saw. menjawab : “Jika apa yang kamu katakan itu ada pada dirinya maka sungguh kamu telah menggunjingnya, dan jika tidak ada pada dirinya, maka sungguh kamu telah menyebutkan hal yang dusta tentang dirinya.” (HR. Muslim)
Kebiasaan menggunjing dapat mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan. Selain itu, menggunjing juga dapat merusak akhlak dan menodai amal-amal yang telah kita lakukan. Kebiasaan yang satu ini selain kebiasaan yang lainnya yaitu buruk sangka dan suka mencari-cari kesalahan orang lain, memang kerap akrab dengan kehidupan masyarakat kita. Kadang hal tersebut malah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.
Coba kita pikirkan, berapa kalimat yang kita ucapkan dalam sehari? Adakah kalimat yang kita gunakan mengandung hikmah bagi kita sendiri dan bagi orang lain? Ataukah malah sebaliknya, kalimat-kalimat yang kita ucapkan adalah sesuatu yang sia-sia yang diucapkan hanya untuk mengisi waktu luang saja?
Membicarakan kejelekan atau aib orang lain termasuk menggunjing walaupun pada kenyataannya aib itu memang benar-benar ada pada dirinya. Saat seseorang mengatakan bahwa “si fulan begini, si fulan begitu”, kemudian dia diingatkan saudaranya untuk menghentikan gunjingannya, dengan santainya dia menjawab bahwa tujuan dia menggunjing adalah untuk kebaikan si fulan atau untuk mengubahnya agar menyadari kesalalahan yang telah dilakukannya. Apakah boleh kita menggunjing seseorang dengan tujuan demikian?
Mengubah seseorang menjadi lebih baik tidak perlu dilakukan dengan cara mengembar-gemborkan aibnya pada orang lain sehingga yang tahu tentang aib itu bukan hanya satu orang atau dua orang, tapi banyak orang akan mengetahuinya. Orang yang digunjingkan pasti tidak akan menerima jika dia tahu bahwa dia menjadi objek gunjingan seseorang. Dia akan merasa sakit hati walau sebetulnya apa yang dibicarakan itu adalah benar. Dan bisa saja dia akan marah besar saat tahu seseorang menggunjingnya tentang sesuatu yang tidar benar. Akhirnya, terjadilah permusuhan yang sangat fatal yang menyebabkan sebuah persahabatan yang selama ini telah dijalin dengan baik hancur begitu saja karena gunjingan tersebut Persaudaraan pun bisa berubah menjadi permusuhan gara-gara menggunjing. Hubungan apapun bisa hancur jika orang-orang yang terlibat didalamnya saling menggunjing.
Allah memberikan permisalan orang-orang yang suka menggunjing sebagai orang yang suka memakan bangkai saudaranya yang sudah mati. Jangankan bangkai, daging mentah saja jika dimakan tidak akan enak rasanya. Biasanya, onggokan bangkai akan sangat diminati oleh belatung-belatung yang berusaha memakannya. Apakah mau jika kita ditawari seonggok bangkai? Sudah pasti kita menolaknya walaupun bangkai itu disimpan di atas sebuah piring mewah yang lengkap dengan hiasannya.
Tidak ada gunanya jika kita berlomba-lomba untuk menjadi orang yang pintar berbicara jika materi yang kita bicara adalah sesuatu yang sia-sia. Materi yang kita bicarakan sebaiknya mengandung hikmah bagi diri kita dan orang lain dapat mengambil pelajaran sehingga wawasan bertambah. Berbagi ilmu itu sangatlah penting, tapi membagi aib orang lain adalah suatu perbuatan yang sangat tidak disukai Allah SWT.
Membuka aib seseorang dengan menggunjing hanya akan menghabiskan waktu dan menurunkan kualitas pribadi kita. Maka berhati-hatilah orang yang mempunyai kesempatan lebih dalam berbicara di depan orang banyak. Gunakanlah hati saat bicara, sehingga bekal ilmu yang kita meiliki menjadi manfaat.
Sebetulnya, siapapun berpotensi untuk melakukan ghibah. Yang bisa kita lakukan adalah memilih lingkungan pergaulan yang dapat meningkatkan kualitas keilmuan dan ibadah kita menjadi semakin baik lagi. Jangan sampai kita terlena dengan obrolan-obrolan yang pada akhirnya menzhalimi orang lain. Segeralah meninggalkan majelis pertemuan jika memang sudah mengarah pada hal-hal yang menjerumuskan kita pada kotornya hati.
Upaya apapun dapat kita lakukan agar terbebas dari kebiasaan menggunjing. Seseorang dengan kemauan kuat untuk memperbaiki dirinya, maka akan jelaslah jalan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila kita terlanjur menggunjing orang lain, maka wajiblah bagi kita untuk bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya (taubat nashuha). Selain bertaubat, kita harus meminta maaf pada orang yang telah kita sakiti karena perilaku kita. Jika kita tidak sempat meminta maaf padanya karena telah tiada, maka do’akanlah kebaikan bagi diri dan keluarganya. Dengan demikian, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa yang telah kita perbuat. Dan mudah-mudahan kita termasuk pada golongan orang-orang yang bertakwa. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: