Selasa, 23 Juni 2020

Menghargai Peran Hidup Kita


Oleh KH ABDULLAH GYMNASTIAR

Apapun OPINI yang berkembang tentang AA Gim, tapi apa yang ia katakan dan ia tulis dalam karya bukunya bisa membuat orang sadar dan mawas diri... Aa Gim banyak memberi motivasi.
Semoga bermanfaat....


Post Oleh: Rosi NS, S.Pd.I


Semoga kita mampu menjadikan hidup ini sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan yang terbaik. Dengan niat yang selalu lurus, dan cara yang paling sesuai dengan tuntunan-Nya. Hingga setiap persembahan kita pada-Nya, akan terus mendekatkan kita menjadi orang-orang pilihan dalam pandangan-Nya, menempati tempat terbaik di sisi-Nya. Sungguh Allah SWT, melalui Al Qur’an, kitab-Nya yang mulia dan Rasulullah Muhammad SAW lewat sabda-sabdanya yang mengalir tulus dari lisannya yang suci, telah membimbing agar kita agar menjadi manusia yang berkualitas.

Allah telah memilih manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Amanat agung yang manusia pikul itu, sesungguhnya hanya dapat ditunaikan andaikata masing-masing diri kita, adalah pribadi yang berkualitas. Dan kualitas pribadi atau pun kualitas hidup kita, dapat terukur dari sejauh mana pendalaman atau penjiwaan kita terhadap peran yang kita geluti atau karya yang hendak kita lahirkan.

Sebagi ilustrasi, andaikata suatu ketika kita merasa amat terpesona, tersedot perhatian demi mendengar sebuah puisi yang dibawakan seorang seniman, maka jelas jiwa seniman itulah yang menjadikannya menakjubkan. Andaikata puisi itu dibawakan tanpa penjiwaan, tanpa kesungguhan meresapi maknanya, maka seindah dan sepuitis apapun kata-kata, akan terdengar hambar. Tak meninggalkan kesan, apalagi kemampuan menggugah batin. Pembacaan puisi itu menjadi murahan, tak layak menjadi kenangan dalam benak orang banyak.

Begitulah kualitas pribadi dan hidup kita.Pendalaman atau penjiwaan kita terhadap apa-apa yang kita lakukan, akan menjadi tolak ukur kualitas kerja kita tersebut.

Seorang istri misalnya, ia akan menjadi penyenang mata dan penyejuk hati suaminya, peneguhnya untuk berjuang menghadapi kerasnya hidup keseharian, peliknya bertahan dalam keimanan. Andai peran itu sang istri jalankan dengan sepenuh hati, disertai ketulusan dan keinginan memberikan yang terbaik buat sang suami maka keluarga yang diamanahkan kepadanya insya Allah akan harmonis, damai, tenteram senantiasa.

Berbeda dengan istri yang tak menjiwai tugasnya, ia duduk di samping suami, namun hatinya berkeliaran di jalanan. Walhasil, jiwanya akan tertekan, menganggap suami sebagai pengekang. Tugasnya terabaikan, rumah berantakan dan suaminya pun tiada terbahagiakan.

Peran sebagai orangtua pun, akan menjadi beban apabila tidak dijiwai dalam menjalankannya. Bilamana wajah kita hadapkan pada anak-anak, pertanyaan kita lontarkan kepada mereka, namun jiwa kita ada di kantor, ingatan kita berada diantara kontarak-kontrak bisnis yang mesti di tandatangani, dalam tumpukan makalah-makalah seminar, maka menjadi keringlah komunikasi dalam keluarga.

Sentuhan, belaian, yang dirasakan anak-anak pun terbatas hanya pada fisik, tanpa muatan kasih sayang di dalamnya. Tak jarang, ini akan menyebabkan anak-anak kita merasakan orangtuanya sebagai ada namun tiada. Kebencian anak-anak, kenakalan mereka, tak jarang bermula dari hal yang terasa sepele ini.

Suatu komunikasi yang terburu-buru, apalagi tanpa perhatian pada anak-anak, akan menjadikan mereka merasa diabaikan. Dengan begitu, kita tak akan mampu menjadi orangtua panutan. Bisa jadi keberadaan kita malah ibarat menjadi monster, di mata manusia-manusia yang justru darah daging kita sendiri itu.

Dalam profesi bisa kita lihat ini. Bila kita seorang guru, namun kemudian merasa pekerjaan ini adalah sesuatu yang menyebalkan, maka tanyalah pada diri, sejauh mana kita mendalami amanat mulia ini. Adakah kita pernah mencari teknik baru dalam mengajar? Berusaha memahami dunia dan keinginan anak didik? Ataukah kita berada di kelas sekadar mengisi absensi agar tak kurang gaji di awal bulan?

Seorang pemimpin yang tak menjiwai kepercayaan yang ada dipundaknya akan menjadi pemimpin asal-asalan. Dia tak mau memperhatikan kepentingan bawahan, melainkan melulu ambisi dan kepentingan pribadinya yang dipikirkan. Akibatnya, ia hanya mau bertemu orang-orang yang dipimpinnya semata untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Alhasil, pemimpin seperti inilah yang akan membuat organisasi yang dipimpinnya bobrok, anggotanya tertindas dan nama dirinya sendiri tercoreng. Meski bisa jadi kepemimpinannya yang rapuh baru terlihat dua atau tiga tahun, bahkan mungkin puluhan tahun kedepan.

Padahal andaikata ia mau menjalani perannya dengan sebaik-baiknya, maka betapa posisi pemimpin ini punya daya kekuatan yang luar biasa. Ia bisa membimbing bawahan menuju perbaikan diri, mengeluarkan keputusan-keputusan yang memiliki kemampuan menghapus maksiat, menumbuhkan kebaikan dimana-mana. Memang, kualitas hidup kita akan tercipta manakala kita mendalami setiap peran kita. Wallahu a`lam bishshawaab.**

1 komentar:

tuti handriani mengatakan...

pencinta Aa Gym, sepertinya..
:)