Rabu, 02 Maret 2011

Membina Keikhlasan


Oleh KH ABDULLAH GYMNASTIAR

Apapun OPINI yang berkembang tentang AA Gim, tapi apa yang ia katakan dan ia tulis dalam karya bukunya bisa membuat orang sadar dan mawas diri... Aa Gim banyak memberi motivasi.
Semoga bermanfaat....


Post Oleh: Rosi NS, S.Pd.I


“LURUSKANLAH muka (diri)-mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya.” (QS. Al A’raaf, 29).
Tiada sulit untuk berucap, “Tidak ada yang layak disembah, selain Allah.” Ringan sekali, namun apakah selancar itu pula jiwa tauhid mengalir dalam darah kita, sehingga mendorong seluruh anggota tubuh menuju kesamaan antara ikrar dan amal perbuatan?
Lisan kita mungkin bisa berkata bahwa tauhid telah menyungsum, mendarah-daging dalam tubuh kita. Namun tak jarang, tanpa disadari, Allah telah dipersekutukan dengan majikan, atasan, kekayaan, atau pangkat. Bahkan Allah juga dipersekutukan dengan suami, istri, atau anak. Tidak cuma itu, Allah juga dipersekutukan dengan pujian dan sembah sanjung terhadap yang lain.
Istri lebih takut dimarahi suami ketimbang dimurkai Allah. Orang lebih takut kehilangan kekuasaan daripada kehilangan iman. Ibadah lebih suka karena dipuji orang lain daripada mencari ridha Allah. Manusia lebih ngeri menghadapi pengadilan dunia daripada mahkamah Ilahi. Padahal, jika Allah menghendaki, segala usaha dan ikhtiar manusia akan hancur sia-sia.
Sungguh, keikhlasan hatilah yang sebenarnya merupakan harta hakiki seorang manusia. Ibadah apapun yang dikerjakannya tanpa keikhlasan, niscaya hanyalah sia-sia belaka. Ikhlas, alangkah indah makna yang terkandung di dalamnya. Ikhlas, bersih dari segala maksud-maksud pribadi, bersih dari segala pamrih dan riya, bersih dari segala yang tidak disukai Allah SWT. Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa alam raya. Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang kita harapkan, taati, cintai, dan kita takuti. Ikhlas menerima Muhammad Saw sebagai penjelas dan penyampai kalam Allah. Ikhlas menerima al Qur’an sebagai pedoman dalam segala gerak kehidupan kita.
Manusia ikhlas adalah manusia yang berkarakter kuat dan tidak pernah mengenal lelah. Gerak perilakunya tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya penghargaan manusia. Baginya yang paling penting adalah Allah ridha kepadanya. Orientasi hidupnya jelas dan tegas. Langkahnya pasti dan penuh harapan. Tak ada kata frustasi dalam hidupnya, tak ada kata putus asa dalam usahanya. Jiwanya merdeka, karena hanya Allah yang menjadi tujuan hidupnya.
Oleh karena itu, selayaknya kita tidak memaksakan keinginan. Kita punya rencana, maka Allah punya ketetapan. Rizki kita adalah kalau kita bisa berniat lurus dari apapun yang kita lakukan dan menyempurnakan ikhtiar di jalan yang disukai Allah semata.
Mudah-mudahan Allah membersihkan hati kita dari kerinduan untuk dipuji, dihargai, dihormati, dibalas budi oleh makhluk. Ternyata diantara yang membuat kita menderita itu adalah tamak penghormatan. Lihatlah, kadang kita sampai menipu diri, mendustakan diri sendiri hanya karena kita rindu dihargai orang lain. Kita berdusta, hingga kita akhirnya tertekan dan terpenjara oleh kerinduan untuk dihormati. Justru karena semua itulah kita akan banyak terluka dan sakit hati.
Orang ikhlas sudah putus harapan terhadap pujian orang lain. Ia tidak berharap dipuji dan dihargai. Ia akan tetap bersemangat untuk berbuat kebaikan saat dipuji ataupun dicaci. Berbahagialah andaikata kita berhasil mengangkat diri dari jeratan ingin dihormati itu. Dengan cara itu kita akan dianugerahi indahnya ibadah dalam tauhid. Semoga, perjalanan ibadah kita di bulan Ramadhan ini benar-benar mampu mendidik kita menjadi pribadi-pribadi ikhlas yang berharap dan bersandar hanya kepada Allah. Wallahu a‘lam.

Tidak ada komentar: